KAMPANYE
*By. Rusly Saraha (Ketua Panwaslu
Kota Tidore Kepulauan)
“Elit
cerdas, kampanyenya mencerahkan.
Elit
terhormat, berpadu dalam pemilu bermartabat.....”
Dialah Dr. Joseph Goebbels. Lelaki pemikir, sekaligus
pekerja. Ia tak berkumis, apalagi mengikuti style
berkumis “segi empat tengah” ala juragan Nazi, Adolf Hitler. Tak banyak yang
mengenalnya, tapi Jerman Raya di masa keemasan Nazisme memposisikan Goebbels
sebagai orang ketiga yang paling disegani setelah sang fuhrer Adolf Hitler dan
Martin Bormann.
Tahun
1924, di tahun ketika Hitler dibebaskan dari penjara Landsberg akibat
“Pengkhianatan Tingkat Tinggi”, Goebbels bergabung dengan Nazi. Di usia 36
tahun Goebbels telah diangkat menjadi menteri propaganda. Sang doktor terbilang
lihai, cukup piawai bahkan paling tajam dalam menegakkan tonggak identitas
ke-Nazi-an.
Pada
10 Mei 1933, Joseph Goebbels menjadi pengobar kampanye perlawanan terhadap
Yahudi, kaum liberal, aliran sayap kiri, orang asing dan lainnya sebagai
sesuatu yang “Non Jerman”. Dan Lapangan Opera Berlin kala itu dipenuhi puluhan
ribu massa. Pidato menteri yang menjadi poros propagandis Nazisme Jerman ini
makin menggetarkan. Malam harinya massa yang tersiram bumbu-bumbu agitasi menjarah
perpustakaan dan toko buku. Sorak sorai menggelindang kota dalam pawai obor
lalu terhentak menjadikannya sebagai api unggun akbar. Sekitar 25.000 buku yang
diidentifikasi sebagai “buku terlarang” dilemparkan ke dalam bara api.
Karya-karya hebat milik beberapa tokoh seperti Einsten,Sigmund Freud, dan bahkan Buku Si Tuna Netra Hellen
Keller-pun turut berpesta dalam lumatan kobar api.
Dalam
jagat propaganda, kekaliberan Goebbels tergolong berlevel tinggi. Model
propagandanya disebut sebagai argentum ad
nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie atau kebohongan besar. Teknik ini menguraikan sebuah
gebrakan propaganda dengan penyebaran berita bohong melalui media massa secara
gencar, masif dan meluas hingga kebohongan tersebut diakui sebagai kebenaran.
Goebbels
terbukti sukses dalam propaganda gerakan “Pembersihan Jiwa Jerman”. Bersama
Hitler, ia mengibarkan panji-panji tirani dan kediktatoran. Menjadikan
penyensoran karya, diskriminasi ras dan penghilangan nyawa terhadap manusia non
Arya sebagai sesuatu yang legal dan benar-benar tidak salah.
Propaganda
dalam Everyman’s Encylopedia
diartikan sebagai sebuah seni untuk menyebarkan dan meyakinkan suatu
kepercayaan, khususnya kepercayaan agama dan politik. Dalam prosesnya,
propaganda bersifat penyampaian gagasan, ide, kepercayaan atau doktrin yang
tujuannya diarahkan untuk membentuk atau mengubah opini, sikap, dan prilaku
individu/kelompok dengan teknik-teknik mempengaruhi.
Semenjak
terdokumentasi dalam Inskripsi Behistun (515 SM) yang menggambarkan kenaikan
Darius I ke tahta Persia, propaganda telah mengalami perkembangan pesat.
Beragam teknik propaganda mulai berseliweran dan telah teraplikasi di berbagai
momentum dalam aneka situasi. Salah satu teknik yang terkenal adalah Plain Folks atau manusia biasa. Plain Folks sebagaimana dikutip di
Wikipedia adalah suatu teknik propaganda yang digunakan oleh seseorang untuk
menunjukkan bahwa dirinya rendah hati dan empati dengan penduduk pada umumnya.
Pola ini diyakini paling super dan paling banyak digunakan dalam kampanye untuk
memperoleh kekuasaan politik, seperti perburuan singgasana Presiden, Bupati,
Walikota atau Gubernur.
Di
Maluku Utara, Pemilu Gubernur saat ini sedang berlangsung tahapan kampanye. Tahapan ini berlangsung cukup singkat, yakni
14 hari semenjak 14 Juni hingga 27 Juni 2013. Dalam racik formal, kampanye
diatur sebagai sebuah kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dalam rangka
memperoleh dukungan sebesar-besarnya dalam bentuk penawaran visi, misi dan
program secara lisan maupun tertulis (PKPU 69 tahun 2009).. Secara
teknis, (pasal 13 PKPU 69 tahun 2009) terdapat 5 (lima) prinsip utama yang
menjadi pedoman dalam penyampaian materi kampanye, yakni : 1. Sopan (menggunakan bahasa dan kalimat yang santun dan pantas
ditampilkan kepada umum, 2. Tertib
(tidak mengganggu kepentingan umum), 3.
Mendidik (memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerahkan pemilih, 4. Bijak dan Beradab (tidak menyerang
pribadi, kelompok, golongan atau pasangan calon lain), 5. Tidak Bersifat Profokatif.
Corak
kampanye hitam yang berpijak pada kepicikan mental dan kebejatan watak adalah
tradisi kotor yang bukan tidak mungkin akan berkontribusi bagi kekentalan jejak
kelam Pemilu Kada di jazirah ini. Model kampanye yang mengandalkan SARA adalah
sebuah parade kekerasan wacana yang mengotori pemikiran, apalagi dengan
penampakan simbol-simbol kekerasan yang dalam kondisi tertentu akan mudah
melecutkan praktek pertikaian antar massa pendukung.
Gerakan
preventif telah dilakukan oleh Polda Maluku Utara pada 23 Mei 2013 dalam
penandatanganan Pakta Integritas oleh Kandidat yang dipertajam dengan
pernyataan sikap bersama Tim Sukses Paslon Gubwagub untuk mendukung Pemilu
Damai pada 12 Juni 2013 di Ngara Lamo Salero. Langkah permulaan yang cukup
brilian juga telah diparadekan oleh Malut Post melalui Pagelaran Foto Kekerasan
Pemilu Gubernur 2007 ke publik di beberapa tempat (Ternate, Tidore dan Maba)
sebagai ikhtiar terbaik dan penanda refleksi. “Meski begitu fragmen demokrasi
sehat selalu dipandang sebelah mata, bahkan sebagian orang tidak perlu lagi
menggunakan perspektif rasional untuk menafsirkan segala dimensi demokrasi”
(Editorial Tabloid Zaman Edisi I).
Barangkali
diperlukan “Kebijaksanaan Tingkat Tinggi” dalam tiap jengkal hati dan nadi elit
politik di Jazirah ini untuk memastikan perhelatan Pemilu Gubernur 2013 ini
berlangsung secara bermartabat. Masa kampanye yang berlangsung hingga 27 Juni
2013 ini adalah media dan kesempatan terbaik bagi pasangan calon dan tim
kampanye untuk memberikan pendidikan politik terbaik bagi masyarakat pemilih
dengan berkaca pada dua pemilu kada gagal (2001/2002 dan 2007/2008) yang
mencoreng sejarah Maluku Utara disertai konfigurasi pasangan calon 2013 yang
multi etnik dan berasal dari latar belakang agama yang berbeda serta komplit
dari sisi dukungan Parpol maupun Perseorangan/ Independen
Sebagai
sebuah pesta demokrasi, penyelenggaraan pemilu Gubernur harus dapat menyuguhkan
sesuatu yang tidak hanya mencerahkan, tetapi menceriakan masyarakat. Di sebuah
Talk Show pada Rapat Stake Holder Pemilu Kada Maluku Utara yang dihelat Bawaslu
RI 10 Juni 2013, Dr. Husen Alting (Rektor Unkhair Ternate) menyentil “layaknya pesta-pesta di Maluku Utara, pesta
demokrasi pemilu Gubernur harus membikin masyarakat enjoy, bukan tebar teror,
ketakutan dan intimidasi”.
Di
hari ketika masyarakat Amerika turun ke jalan dan memprotes gerakan pembakaran
buku yang membunuh kebebasan ekspresi oleh rezim Nazi Jerman, Helen Keller yang
karyanya juga turut diberangus tak terlibat dalam demonstrasi di New York,
Philadelphia, St. Luis dan Chicago itu. Si Buta yang Rausanfikr ini hanya
terdiam di sisi ruangan, sejenak menarik napas, dalam tatapan kosong ia berujar
“Tirani tidak dapat mengalahkan gagasan”.Terbukti rezim otoriter Nazi yang
terkenal dengan propaganda The Big Lie
kebohongan besar yang diotaki Goebbels ini akhirnya runtuh juga, dan kemudian
dikenang sejarah dalam balutan kecaman sebagai rezim keji dan tengik.
Maluku
Utara, negeri semenanjung raja-raja kini sedang menyusun langkah menegakkan
tonggak “kesempatan ketiga” dalam helat akbar Pemilu Gubernur 2013. Setidaknya dalam
pelaksanaan kampanye ini, kita memperoleh suguhan terbaik dari pasangan calon
dan tim kampanye yang secara tulus menegaskan kesungguhan bakti, bukan pada
tebar pesona janji-janji basi dan mengkonsolidasikan seluruh kekuatan dan
kapabilitasnya untuk menyelenggarakan pencerahan politik yang anti diskriminasi
etnis maupun agama. Hal
demikian tentu menjadi menu wajib yang mesti dijamin dan dipastikan oleh elit
politik kita, seraya mengibarkan panji-panji demokrasi demi menjaga semangat
dan asa seluruh rakyat Maluku Utara untuk kesejahteraan dalam falsafah Marimoi Ngone Futuru. (*)