KESEMPATAN KETIGA
By. Rusly Saraha
(Ketua Panwaslu Kota Tidore Kepulauan)
“Setelah
Dua Kali Gagal,
Kita masih tetap yang tertinggal”
Mereka yang
berpihak pada spirit optimisme, selalu mendekap keyakinan bahwa kegagalan
bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan bahkan begitu tipis jaraknya menuju
gerbang kesuksesan. Jika sepenggal kata “gagal” ini kita sematkan kepada
penyelenggaraan Pemilu Gubernur Maluku Utara, maka kita telah dua kali secara
berturut-turut mencumbui carut marut dan kasat kusut perhelatannya.
Paska
Pemekaran Maluku Utara secara mandiri menjadi propinsi sendiri pada tahun 1999,
dihelat Pemilu Gubernur Maluku Utara pada 5 Juli 2001. Sebagai penyelenggara
yang merangkap pemilih, 45 anggota DPRD Propinsi Malut, melalui prosesi pemilihan
yang menegangkan tuntas memilih pasangan Abdul Gafur – Yamin Tawary sebagai
peraih suara terbanyak (23 suara) yang unggul tipis atas pasangan Thayb Armayn
– Yamin Waisale.
Tapi Pemilu
tak sampai disitu. Hari-hari setelah 5 Juli adalah hari-hari yang dipenuhi
dengan luapan protes. Bara kekisruhan mulai memanaskan suasana. Salah satunya
adalah terdapat dugaan politik uang yang menjalar di jelang pemilihan yang
diduga melibatkan calon peraih suara terbanyak dengan salah satu atau beberapa
anggota Deprov saat itu. Lalu Rapat paripurna DPRD Propinsi Maluku Utara pada
28 September 2001 membuat keputusan tak terduga. Membatalkan hasil pemilihan 5
Juli 2001.
Kasat kusut
pemilu ini terus berlanjut, menghamparkan praktek politik tidak sehat secara
terbuka. Tiga belas bulan kemudian tepatnya 28 Oktober 2002, DPRD Propinsi
Malut yang dikomandoi Rustam Konoras menggelar Rapat Paripurna Pemilihan
Gubernur dan Wakil Guernur serta memilih Thayb Armayn – Majid Abdullah. Meski
gelegar protes masih membahana disana-sini, tetapi Thayb – Majid akhirnya
dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2002 – 2007.
Lima tahun
kemudian tongkat komando penyelenggara pemilihan Gubernur dikendalikan oleh KPU Propinsi
Maluku Utara. Kali ini pemilu langsung yang memposisikan rakyat Maluku Utara
sebagai pemilih yang menentukan langsung siapa Gubernurnya. Rupanya singgasana
Gubernur Maluku Utara ini begitu menggoda. Abdul Gafur kembali mengikrarkan
diri untuk “pulang kampung” memburu kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku
Utara 2007 – 2012 memilih berpasangan dengan Abdurrahim Fabanyo.
Lawan berat
Gafur, tentu tak lain dan tak bukan adalah kompetitornya enam tahun silam yakni
incumbent Thayb Armayn yang
berpasangan dengan Abdul Gani Kasuba. Dan benar, parade kekuatan terus
dikobarkan. Pada hari pemungutan suara pada tanggal 3 November 2007, kurang
lebih setengah juta pemilih mengikuti pencoblosan. Usai penghitungan suara di
TPS, ketegangan makin menggila. Sebelum pleno akhir digelar, KPU Propinsi
dibawah kendali M. Rahmi Husen melakukan penonaktifan terhadap komisioner KPU
Halmahera Barat pada 13 November 2007. Penyebabnya adalah terdapat indikasi
manipulasi suara terhadap suara rekapan di PPK Jailolo, Sahu Timur dan Ibu
Selatan.
Di bulan november
itu, terdapat dua keputusan terhadap pleno rekapitulasi dengan hasil yang
berbeda, yakni pleno rekap yang dilakukan oleh KPU Propinsi dibawah kendali M.
Rahmi yang memenangkan pasangan Thayb – Ghani, sedangkan pleno pengambilalihan
oleh KPU Pusat yang menganggap prosesi pleno KPU Propinsi menyalahi aturan
memutuskan Gafur – Fabanyo sebagai peraih suara terbanyak.
Jalan
panjang perdebatan terus menghiasi dinamika pemilihan, sampai akhirnya
Pemerintah Pusat men-take over dan menentukan serta memutuskan Thayb Armayn –
Abdul Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara 2008 – 2013.
Pada tanggal 8 September 2008, Thayb Armayn untuk kedua kalinya dilantik
sebagai penguasa singgasana Gubernur Maluku Utara.
Tanpa Duel Naga “Thayb vs Gafur”
Tanggal 17
Mei 2013, melalui sebuah rapat terbuka, KPU Propinsi Maluku Utara melakukan
prosesi pencabutan nomor urut berkenan dengan telah ditetapkannya pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2013 – 2018. Prosesi
tersebut lancar dengan penempatan nomor urut Cagub- Cawagub yakni Namto Hui
Roba – Ismail Arifin (1), Muhajir Albaar – Sahrin Hamid (2), Ahmad Hidayat Mus
– Hasan Doa (3), Syamsir Andili – Beni Laos (4), Abdul Gani Kasuba – M. Nashir
Thaib (5) dan Hein Namotemo – Abdul Malik Ibrahim (6).
Dari dua
belas pasang nama diatas tak terdapat dua kompetitor sejati dalam sejarah
Pemilu Gubernur dua periode silam yakni Thayb Armayn dan Abdul Gafur. Thayb
Armayn tak lagi maju karena terpalang aturan yang melarang seorang Gubernur
yang telah dua kali menjabat untuk kembali menikmati singgasananya. Sedangkan
Gafur yang juga adalah politisi senior sempat memberi ancang-ancang kembali
untuk yang ketiga kalinya sebagai petarung perebutan posisi Gubernur.
Baliho-baliho si Abang bahkan telah marak mewarnai penjuru kota dan desa. Meski
begitu, partai Golkar tempat Gafur menghirup nafas karier politiknya lebih
memilih merekomendasikan Hidayat Mus sebagai Cagub Partai Golkar.
Sebagian
kalangan menilai Pemilu Gubernur Maluku Utara tanpa pertarungan El Classico
Thayb vs Gafur seolah memberi warna baru yang minim angka-angka pertikaian.
Sebab Thayb dan Gafur pernah berjibaku dalam adu tanding dan tempur sengit
tarik menarik singgasana Gubernur serta turut mencumbui carut marut dua kali
Pilgub yang dinilai sebagai pemilu terburuk di Indonesia.
Walau
begitu, kemilau singgasana kadang mensilaukan segalanya. Dalam situasi tertentu
kekuasaan dapat meredupkan segala kebijaksanaan bahkan kebajikan. Karenanya
tanpa Duel Thayb- Gafur sekalipun, perebutan kekuasaan tetap berlangsung
sengit. Sebab dimungkinkan keenam pasang Cagub memiliki motif yang sama, yakni
sama-sama memiliki hasrat untuk berkuasa. Yang berbahaya tentu adalah hasrat
berkuasa yang berlebihan sebagaimana yang diikhtiarkan oleh Dr. Ridha Adjam
dalam diskusi “Profesionalisme Penyelenggara Pemilu” di Sofifi, 23 Mei 2013.
Apalagi berdasarkan catatan, terdapat empat dari enam calon Gubernur saat ini
berposisi sebagai Kepala Daerah yakni tiga Bupati (Namto, Mus dan Hein) dan
satu Wakil Gubernur (Gani).
Potensi
mobilisasi kekuasaan akan sangat terbuka di depan layar maupun di belakang
layar terutama terhadap calon berstatus kepala daerah atau wakil kepala daerah,
meski tak bisa dipungkiri bisa berlaku sama terhadap calon yang bukan berstatus
kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 78
point (h) jelas menegaskan “Dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan
anggaran pemerintah dan pemerintah daerah”. Aturan ini diperdalam dengan
pengaturan cuti yang memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan Pemda
bagi pejabat negara yang menjadi calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah
dalam kampanye. Titik tegas lainnya adalah larangan pelibatan PNS, TNI, POLRI
dan kepala desa dalan kampanye (Pasal 79 UU 32 tahun 2004).
Politik Uang, Curang dan Perang
Mereka yang
terbiasa bermain uang, akan sangat berpotensi berlaku curang. Praktek curang
akan semakin dekat jaraknya dengan praktek politik perang (politik kekerasan).
Sejarah Pemilu Gubernur Maluku Utara 2001 yang berselesai di tahun 2002 telah
sedari awal menghentakkan kesadaran kita bahwa kegagalan pemilu bermula dari
politik uang. Sedangkan di tahun 2007, penyelenggaraan Pilgub yang berkesudahan
di tahun 2008 itu telah membuka mata telinga kita bahwa praktek politik curang
adalah titik awal kegagalan dan carut marut pemilu kita.
Politik
uang biasanya didominasi oleh prilaku
elit yang tidak memberikan pendidikan politik mencerdaskan. Komponen yang kerap
menjadi sasaran permainan elit ini adalah masyarakat pemilih melalui upaya
meraih suara, dan terhadap penyelenggara pemilu sebagai upaya untuk bermain
/merubah suara atau angka-angka. Situasi fatal ini akan menerima klimaksnya
tatkala kecurangan dilegalkan. Disinilah kekuatan uang akan menipu segalanya serta
meruntuhkan segala bentuk nurani dan akal sehat.
Kondisi ini
akan terhindarkan manakala elit (pasangan calon dan tim kampanye) mampu
mengendalikan hasrat untuk melakukan tindakan politik bejat “main doi deng main ruci”. Langkah serupa akan berjalan optimal jika penyelenggara
pemilu yang menangani teknis penyelenggaraan (KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota,
PPK, PPS dan KPPS) serta pengawas pemilu (Bawaslu Propinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwascam dan PPL) menjaga soliditas internal dan kualitas
integritasnya agar tidak “masuk angin” dan berkongkalikong dengan siapapun yang
mencoba bermain uang dan curang.
Aspek
lainnya adalah sedapat mungkin kekuatan netral tetap memposisikan dirinya
sebagai kelompok netral yang tidak berpihak yakni tidak melakukan tindakan yang
merugikan atau menguntungkan pasangan calon tertentu. Semakin banyak barisan
netral seperti PNS, TNI, POLRI, Lembaga Adat dan Keagamaan, Pers, LSM dan
Organisasi Kemahasiswaan yang berdiri kokoh dan tegak akan meminimalisir
polarisasi kelompok yang melibatkan masyarakat secara lebih luas.
Isyarat ini
merupakan sebuah prasyarat utama untuk kita melempar jauh-jauh tropi penyelenggaraan
Pemilu Gubernur terburuk yang dipegang oleh Maluku Utara. Dalam “The Japanese Samurai Code”, Boye de
Mente (2009) membawa kita menyelami filosofi hidup dan bangkit dari kegagalan
ala Samurai Jepang. “Selama berabad-abad
masyarakat Jepang telah dikondisikan untuk selalu mengusahakan kesempurnaan
dalam setiap pekerjaan mereka, dan menghindari berbuat kesalahan/kegagalan
dalam hal apapun. Ippo machigaru to...!! atau hanya satu kesalahan...!!”
Jika Jepang
hanya dapat mentolerir satu kesalahan, maka dalam Pemilu Gubernur Maluku Utara
kita telah secara beruntun dua kali melakukan kegagalan. Dan semoga kesadaran
atas dua kali gagal itu memberi kita kesempatan ketiga untuk menegakkan tonggak
penyelenggaran pemilu gubwagub ini secara jujur, adil dan berkualitas, tidak
bermain uang, apalagi berlaku curang. Sebab jika tidak, maka kita adalah
orang-orang yang berkontribusi bagi ketertinggalan negeri jazirah raja-raja
ini. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar