Minggu, 02 Juni 2013

OPINI MALUT POST (Senin, 3 Juni 2013)


KESEMPATAN KETIGA


By. Rusly Saraha
 (Ketua Panwaslu Kota Tidore Kepulauan)


 “Setelah Dua Kali Gagal,
Kita masih tetap yang tertinggal”

Mereka yang berpihak pada spirit optimisme, selalu mendekap keyakinan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan bahkan begitu tipis jaraknya menuju gerbang kesuksesan. Jika sepenggal kata “gagal” ini kita sematkan kepada penyelenggaraan Pemilu Gubernur Maluku Utara, maka kita telah dua kali secara berturut-turut mencumbui carut marut dan kasat kusut perhelatannya.
Paska Pemekaran Maluku Utara secara mandiri menjadi propinsi sendiri pada tahun 1999, dihelat Pemilu Gubernur Maluku Utara pada 5 Juli 2001. Sebagai penyelenggara yang merangkap pemilih, 45 anggota DPRD Propinsi Malut, melalui prosesi pemilihan yang menegangkan tuntas memilih pasangan Abdul Gafur – Yamin Tawary sebagai peraih suara terbanyak (23 suara) yang unggul tipis atas pasangan Thayb Armayn – Yamin Waisale.
Tapi Pemilu tak sampai disitu. Hari-hari setelah 5 Juli adalah hari-hari yang dipenuhi dengan luapan protes. Bara kekisruhan mulai memanaskan suasana. Salah satunya adalah terdapat dugaan politik uang yang menjalar di jelang pemilihan yang diduga melibatkan calon peraih suara terbanyak dengan salah satu atau beberapa anggota Deprov saat itu. Lalu Rapat paripurna DPRD Propinsi Maluku Utara pada 28 September 2001 membuat keputusan tak terduga. Membatalkan hasil pemilihan 5 Juli 2001.
Kasat kusut pemilu ini terus berlanjut, menghamparkan praktek politik tidak sehat secara terbuka. Tiga belas bulan kemudian tepatnya 28 Oktober 2002, DPRD Propinsi Malut yang dikomandoi Rustam Konoras menggelar Rapat Paripurna Pemilihan Gubernur dan Wakil Guernur serta memilih Thayb Armayn – Majid Abdullah. Meski gelegar protes masih membahana disana-sini, tetapi Thayb – Majid akhirnya dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2002 – 2007.
Lima tahun kemudian tongkat komando penyelenggara pemilihan  Gubernur dikendalikan oleh KPU Propinsi Maluku Utara. Kali ini pemilu langsung yang memposisikan rakyat Maluku Utara sebagai pemilih yang menentukan langsung siapa Gubernurnya. Rupanya singgasana Gubernur Maluku Utara ini begitu menggoda. Abdul Gafur kembali mengikrarkan diri untuk “pulang kampung” memburu kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara 2007 – 2012 memilih berpasangan dengan Abdurrahim Fabanyo.
Lawan berat Gafur, tentu tak lain dan tak bukan adalah kompetitornya enam tahun silam yakni incumbent Thayb Armayn yang berpasangan dengan Abdul Gani Kasuba. Dan benar, parade kekuatan terus dikobarkan. Pada hari pemungutan suara pada tanggal 3 November 2007, kurang lebih setengah juta pemilih mengikuti pencoblosan. Usai penghitungan suara di TPS, ketegangan makin menggila. Sebelum pleno akhir digelar, KPU Propinsi dibawah kendali M. Rahmi Husen melakukan penonaktifan terhadap komisioner KPU Halmahera Barat pada 13 November 2007. Penyebabnya adalah terdapat indikasi manipulasi suara terhadap suara rekapan di PPK Jailolo, Sahu Timur dan Ibu Selatan.
Di bulan november itu, terdapat dua keputusan terhadap pleno rekapitulasi dengan hasil yang berbeda, yakni pleno rekap yang dilakukan oleh KPU Propinsi dibawah kendali M. Rahmi yang memenangkan pasangan Thayb – Ghani, sedangkan pleno pengambilalihan oleh KPU Pusat yang menganggap prosesi pleno KPU Propinsi menyalahi aturan memutuskan Gafur – Fabanyo sebagai peraih suara terbanyak.
Jalan panjang perdebatan terus menghiasi dinamika pemilihan, sampai akhirnya Pemerintah Pusat men-take over dan menentukan serta memutuskan Thayb Armayn – Abdul Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara 2008 – 2013. Pada tanggal 8 September 2008, Thayb Armayn untuk kedua kalinya dilantik sebagai penguasa singgasana Gubernur Maluku Utara.

Tanpa Duel Naga “Thayb vs Gafur”
Tanggal 17 Mei 2013, melalui sebuah rapat terbuka, KPU Propinsi Maluku Utara melakukan prosesi pencabutan nomor urut berkenan dengan telah ditetapkannya pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2013 – 2018. Prosesi tersebut lancar dengan penempatan nomor urut Cagub- Cawagub yakni Namto Hui Roba – Ismail Arifin (1), Muhajir Albaar – Sahrin Hamid (2), Ahmad Hidayat Mus – Hasan Doa (3), Syamsir Andili – Beni Laos (4), Abdul Gani Kasuba – M. Nashir Thaib (5) dan Hein Namotemo – Abdul Malik Ibrahim (6).
Dari dua belas pasang nama diatas tak terdapat dua kompetitor sejati dalam sejarah Pemilu Gubernur dua periode silam yakni Thayb Armayn dan Abdul Gafur. Thayb Armayn tak lagi maju karena terpalang aturan yang melarang seorang Gubernur yang telah dua kali menjabat untuk kembali menikmati singgasananya. Sedangkan Gafur yang juga adalah politisi senior sempat memberi ancang-ancang kembali untuk yang ketiga kalinya sebagai petarung perebutan posisi Gubernur. Baliho-baliho si Abang bahkan telah marak mewarnai penjuru kota dan desa. Meski begitu, partai Golkar tempat Gafur menghirup nafas karier politiknya lebih memilih merekomendasikan Hidayat Mus sebagai Cagub Partai Golkar.
Sebagian kalangan menilai Pemilu Gubernur Maluku Utara tanpa pertarungan El Classico Thayb vs Gafur seolah memberi warna baru yang minim angka-angka pertikaian. Sebab Thayb dan Gafur pernah berjibaku dalam adu tanding dan tempur sengit tarik menarik singgasana Gubernur serta turut mencumbui carut marut dua kali Pilgub yang dinilai sebagai pemilu terburuk di Indonesia.
Walau begitu, kemilau singgasana kadang mensilaukan segalanya. Dalam situasi tertentu kekuasaan dapat meredupkan segala kebijaksanaan bahkan kebajikan. Karenanya tanpa Duel Thayb- Gafur sekalipun, perebutan kekuasaan tetap berlangsung sengit. Sebab dimungkinkan keenam pasang Cagub memiliki motif yang sama, yakni sama-sama memiliki hasrat untuk berkuasa. Yang berbahaya tentu adalah hasrat berkuasa yang berlebihan sebagaimana yang diikhtiarkan oleh Dr. Ridha Adjam dalam diskusi “Profesionalisme Penyelenggara Pemilu” di Sofifi, 23 Mei 2013. Apalagi berdasarkan catatan, terdapat empat dari enam calon Gubernur saat ini berposisi sebagai Kepala Daerah yakni tiga Bupati (Namto, Mus dan Hein) dan satu Wakil Gubernur (Gani).
Potensi mobilisasi kekuasaan akan sangat terbuka di depan layar maupun di belakang layar terutama terhadap calon berstatus kepala daerah atau wakil kepala daerah, meski tak bisa dipungkiri bisa berlaku sama terhadap calon yang bukan berstatus kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 78 point (h) jelas menegaskan “Dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah”. Aturan ini diperdalam dengan pengaturan cuti yang memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan Pemda bagi pejabat negara yang menjadi calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam kampanye. Titik tegas lainnya adalah larangan pelibatan PNS, TNI, POLRI dan kepala desa dalan kampanye (Pasal 79 UU 32 tahun 2004).

Politik Uang, Curang dan Perang
Mereka yang terbiasa bermain uang, akan sangat berpotensi berlaku curang. Praktek curang akan semakin dekat jaraknya dengan praktek politik perang (politik kekerasan). Sejarah Pemilu Gubernur Maluku Utara 2001 yang berselesai di tahun 2002 telah sedari awal menghentakkan kesadaran kita bahwa kegagalan pemilu bermula dari politik uang. Sedangkan di tahun 2007, penyelenggaraan Pilgub yang berkesudahan di tahun 2008 itu telah membuka mata telinga kita bahwa praktek politik curang adalah titik awal kegagalan dan carut marut pemilu kita.
Politik uang  biasanya didominasi oleh prilaku elit yang tidak memberikan pendidikan politik mencerdaskan. Komponen yang kerap menjadi sasaran permainan elit ini adalah masyarakat pemilih melalui upaya meraih suara, dan terhadap penyelenggara pemilu sebagai upaya untuk bermain /merubah suara atau angka-angka. Situasi fatal ini akan menerima klimaksnya tatkala kecurangan dilegalkan. Disinilah kekuatan uang akan menipu segalanya serta meruntuhkan segala bentuk nurani dan akal sehat.
Kondisi ini akan terhindarkan manakala elit (pasangan calon dan tim kampanye) mampu mengendalikan hasrat untuk melakukan tindakan politik bejat “main doi deng main ruci”. Langkah serupa akan berjalan optimal jika penyelenggara pemilu yang menangani teknis penyelenggaraan (KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS) serta pengawas pemilu (Bawaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwascam dan PPL) menjaga soliditas internal dan kualitas integritasnya agar tidak “masuk angin” dan berkongkalikong dengan siapapun yang mencoba bermain uang dan curang.
Aspek lainnya adalah sedapat mungkin kekuatan netral tetap memposisikan dirinya sebagai kelompok netral yang tidak berpihak yakni tidak melakukan tindakan yang merugikan atau menguntungkan pasangan calon tertentu. Semakin banyak barisan netral seperti PNS, TNI, POLRI, Lembaga Adat dan Keagamaan, Pers, LSM dan Organisasi Kemahasiswaan yang berdiri kokoh dan tegak akan meminimalisir polarisasi kelompok yang melibatkan masyarakat secara lebih luas.
Isyarat ini merupakan sebuah prasyarat utama untuk kita melempar jauh-jauh tropi penyelenggaraan Pemilu Gubernur terburuk yang dipegang oleh Maluku Utara. Dalam “The Japanese Samurai Code”, Boye de Mente (2009) membawa kita menyelami filosofi hidup dan bangkit dari kegagalan ala Samurai Jepang. “Selama berabad-abad masyarakat Jepang telah dikondisikan untuk selalu mengusahakan kesempurnaan dalam setiap pekerjaan mereka, dan menghindari berbuat kesalahan/kegagalan dalam hal apapun. Ippo machigaru to...!! atau hanya satu kesalahan...!!”
Jika Jepang hanya dapat mentolerir satu kesalahan, maka dalam Pemilu Gubernur Maluku Utara kita telah secara beruntun dua kali melakukan kegagalan. Dan semoga kesadaran atas dua kali gagal itu memberi kita kesempatan ketiga untuk menegakkan tonggak penyelenggaran pemilu gubwagub ini secara jujur, adil dan berkualitas, tidak bermain uang, apalagi berlaku curang. Sebab jika tidak, maka kita adalah orang-orang yang berkontribusi bagi ketertinggalan negeri jazirah raja-raja ini. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar